Senin, 26 Desember 2011

Pilihanku

Ketika aku berada di posisi yang tak ku tahu benar atau salahnya. Kedua pilihan sangat membuatku bingung. Karna hingga saat ini, aku masih belum mengetahui pilihan yang salah dan benar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memilih keduanya. Bukan, aku salah. Maksudku, aku tak memilih di antara keduanya. Jika ku katakan aku memilih keduanya, itu bukan pilihan. Karna pilihan hanya ada satu diantara sekelumit pilihan yang lainnya. Entah apa yang ku rasakan ketika aku tak memilih. Apa aku menikmati kedua pilihan tersebut? Atau aku justru merasa suntuk dengan hadirnya kedua pilihan? Mungkin aku harus memilih, tapi bagaimana caranya?
                Ketika aku berada di antara pilihan yang benar dan salah. Jelas yang ini terlihat sedikit mudah. Karna aku hanya tinggal memilih yang benar. Maka, aku memilih pilihan yang benar. Ya sejauh mata memandang, mungkin pilihan itu benar. Tapi, bukan berarti pilihan benar dapat menjadikan aku benar. Dan kali ini aku benar. Bukan, aku benar bukan karna memilih pilihan yang benar tapi karna perkataanku yang terdapat dalam kalimat ke-6. Justru pilihanku yang benar itu menyesatkanku. Karna sesungguhnya pilihan tersebut bukanlah pilihan yang terbaik untukku. Mengapa  bisa terjadi kesalahan fatal seperti itu? Apa mungkin pilihan yang salah itu adalah pilihan yang terbaik? Lalu, bagaimana caranya agar aku dapat memilih pilihan yang bukan hanya benar tetapi terbaik untukku juga?
                Ketika aku berada di posisi yang kedua-duanya salah. Ah, ini mungkin jauh lebih parah dibandingkan yang lainnya. Sudah jelas, keduanya salah. Lalu, untuk apa aku harus memilih? Aku memilih untuk diam membatu dalam kehampaan rangka tubuhku. Tak peduli jikalau nanti persendianku sampai kaku karna tak ada pergerakan apapun yang ku buat. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa diam bukanlah hal terbaik yang dapat ku lakukan. Karna dengan diam hanya akan membuat diriku semakin memburuk. Aku tersiksa akan kebisuanku sendiri. Akupun bergerak dan meronta-ronta. Meringis perih karna mataku yang makin lama makin memerah. Menggerakkan jemari tanganku di atas pipiku yang basah oleh segelinang air mata yang turun dari singgasananya. Telapak tanganku juga mulai ku gerakkan untuk menghalau seberkas sinar yang masuk melalui celah jendela kamarku. Aku tersadar dalam pahitnya pilihanku. Mengapa aku sampai menitikkan air mata? Ku rasa itu hal yang bodoh. Karna sama sekali tidak menyelesaikan perkara yang ada. Hanya membuang-buang waktu. Lalu, apa yang harus ku lakukan sekarang? Bagaimana aku memilih? Pertanyaan itu hadir kembali untuk yang ketiga kalinya.
                Ketika aku di tempatkan di posisi yang sangat menguntungkan. Karna aku diharuskan untuk memilih pilihan yang keduanya benar. Sangat mudah rasanya. Tinggal pilih salah satu dan habis sudah perkara. Tapi tak begitu yang ku rasa. Setelah sebelumnya aku telah dihadapi oleh pilihan yang datang bertubi-tubi dan dari pilihan itu tak ada yang benar-benar dapat ku nikmati hasilnya. Apalagi aku teringat ketika aku memilih pilihan yang benar, tetapi bukan pilihan yang terbaik untukku. Maka aku memutuskan untuk lebih cermat kali ini. Secermat mungkin ku bisa. Tapi tetap tak bisa. Kau tahu apa yang ku lakukan kali ini? Aku tak memilih dan aku juga tak diam. Justru yang ku lakukan mungkin jauh dari apa yang kau pikirkan. Aku memilih untuk mengambil air wudhu, membiarkan air yang mengalir membasahi jasmaniku. Air yang biasa-biasa saja sekarang aku rasa menjadi air yang sejuk. Karna dalam setiap basuhan tanganku, selalu teriringi oleh doa yang terlantur mesra di ronanya bibirku. Aku berwudhu bukan hanya semata-mata untuk membasuh jasmaniku. Tapi aku berwudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim juga. Ya, itu dia shalat. Shalat yang ku jalani begitu khusyuk karna keadaan di sekeliling begitu senyap. Tak ku dengar suara apapun kecuali suara pelan dari basahnya bibirku yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Aku merasa tenang, damai, nyaman, dan merasa yakin bahwa seharusnya dari dulu aku melakukan kegiatan seperti ini. Setelah ibadahku di malam hari itu selesai, aku tak langsung bergegas merapikan perlengkapan shalatku. Tapi aku tetap dalam posisi tasyahud akhir, dan mengangkat tanganku yang mulai terasa kaku karna hawa malam sangat dingin. Memohon diberikan yang terbaik, meminta belas kasihan, mengadu atas bimbangnya perasaan ini. Ini yang terbaik. Hanya dengan melaksanakan yang terbaik terlebih dahulu, kita akan mendapatkan hal yang terbaik pula. Hanya dengan melaksanakan yang benar terlebih dahulu, kita akan mendapatkan hal yang benar pula. Kembali ku titikkan air mata, tanpa ku minta dengan sendirinya turun. Kali ini ku biarkan ia menetes sampai penghabisan. Takkan membuang waktuku jika air mata yang menetes itu diiringi oleh ketulusan doa. Memang tak ada gunanya, aku tahu itu. Tapi aku menyadarinya bahwa lebih baik aku menangis untuk meluapkan emosiku daripada harus mengikuti rayuan setan untuk marah. Nyatanya, dengan menangis aku terlihat sangat lemah. Lihat perubahan di akhir, aku akan sangat kuat setelah menangis. Dan memang, itu benar adanya. Tak lama, aku mendapatkan hasil yang tak cuma-cuma. Akhirnya, diberikanlah oleh Dia pilihan yang benar bagi-Nya dan yang terbaik menurut-Nya.

0 komentar: