Rabu, 12 Oktober 2011

cerpeng

Senja di Kapal Laut
Ditulis oleh Ayu Deswanti - X-5
                Dulu waktu aku duduk di kelas 6 SD dan berusia sekitar 11 tahun, aku melaksanakan lebaran di kampung halamanku yaitu Lampung. Selama liburan disana, sangatlah menyenangkan. Aku bersama keluargaku melakukan kegiatan bersama-sama. Kami bersilaturahmi mengunjungi rumah sanak saudara. Sayangnya, aku tidak bisa berlama-lama disana. Dikarenakan orang tuaku yang harus kembali disibukkan oleh pekerjaannya. Dengan hati jengkel, aku kembali ke Jakarta.
                Biasanya saat-saat di kapal laut adalah saat yang kunantikan. Tetapi, tidak untuk kali ini. Entah mengapa aku belum puas berada disana. Terang saja, aku hanya berada disana selama 3 hari. “Hhh,” dengusku pelan tapi sepertinya kedua orang tuaku mendengarnya.
                “Kenapa nak?” tanya ummiku yang sibuk menatap layar ponselnya sambil menekan tombol-tombolnya. Entah apa yang sedang ia lakukan. Belum sempat ku menjawab, ummiku sudah mulai membuka mulutnya kembali. “Kami tahu, ajeng pasti masih ingin berada disini lebih lama lagi bukan?” tebak ummiku. Ya ajeng, begitulah panggilanku.
                “Sepertinya begitu,” jawabku datar sambil menatap ke luar jendela. Karena perasaanku sangat kesal terhadap orang tuaku, maka aku memutuskan untuk duduk membelakangi kedua orang tuaku.
                Abbiku berpikir untuk mencari kata-kata yang bisa meredakan suasana di antara kami. “Maafkan kami ya nak, ajeng kan tahu sendiri pekerjaan kami benar-benar tidak bisa ditinggalkan. Mungkin di lain waktu kita bisa kembali kesini,” kata abbiku memperlihatkan senyumnya.
                “Ya, abbimu benar. Ajeng kan sudah ummi peringatkan jauh-jauh hari agar tidak merasa kecewa saat tiba waktunya kita harus pulang,” Ummiku mengelus-ngelus punggungku. “Kau sudah besar nak, tolong mengertilah akan situasi yang seperti ini!” katanya lagi.
Tak ada jawaban dariku, karena kupikir semua perkataan orang tuaku tadi bukanlah suatu perkataan yang membutuhkan jawaban. Aku memutar balikkan tubuhku, dan tertunduk lemas. Saat ini kami semua sibuk dengan pikiran masing-masing. ‘Apa yang harus kulakukan sekarang? Seharusnya aku tidak bertindak seperti ini. Kasihan orang tuaku, mereka jadi terlihat sedih. Aku menyesal.’ gerutuku dalam hati.
“Mau mendengarkan musik?” tanya abbiku yang membuyarkan lamunanku.
“Tidak,” sahutku singkat.
“Nah ini pop mie-nya sepertinya sudah tidak panas lagi. Makanlah!” kata ummiku. Aku terheran mendengar ucapannya, ternyata aku sampai tidak menyadari kalau ummiku tadi berjalan meninggalkanku untuk membeli dua mangkuk pop mie.
“Hmm, ajeng mau ke kamar kecil dulu. Setelah itu nanti ajeng makan pop mie-nya,” aku tersenyum kecut ke orang tuaku. Aku berusaha menghindari mereka untuk menenangkan diri sejenak. Untung saja toiletnya tidak terlalu jauh, jadi aku tidak perlu takut karena berjalan sendirian. Oh iya, sebelumnya mereka sudah memberitahukanku letak seluruh ruangan di kapal ini.
Tak lama aku sudah kembali ke tempat dudukku. Terlintas di pikiranku untuk mengutarakan rasa penyesalanku, tapi kemudian aku buang pikiran itu jauh-jauh. Aku malu untuk mengakui semuanya.
Semakin lama hawa di ruangan bawah terasa pengap, sedikit sesak oleh penumpang yang kian bertambah. Aku mencoba mengatur nafasku yang mulai tidak beraturan. Ah bukan hanya itu, ombak laut yang bergemuruh kencang membuat kapal ini berguncang hebat. Perutku mulai tidak enak, sepertinya perutku juga ikut berguncang. Aku memutuskan untuk memberitahu keadaan perutku. Sekarang sikapku perlahan-lahan sudah mulai kembali seperti biasa.
“Mi, Abbi!” seruku manja. “Ajeng mual nih,”
“Mual? Yah mungkin karena guncangan disini terlalu berasa,” abbi menatapku sambil mengerutkan keningnya. Ia berusaha memutar otaknya untuk mencari solusi. “Mmm, kalau tidak salah diatas ada ruangan terbuka deh. Sebaiknya kita kesana saja. Bagaimana?” tanya abbiku.
“Boleh, lagipula disini terlalu pengap. Ummi tidak tahan,” ummi bangkit dari tempat duduk. “Ayo bangun nak! Kita pindah ke atas!” ajak ummi padaku.
Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan abbiku karena segala jawabanku sudah diutarakan oleh ummiku. Maka aku hanya memutuskan untuk berdiri tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saat ku mencoba berdiri, aku terduduk kembali. Guncangannya terlalu besar, akhirnya dengan uluran tangan abbiku aku berhasil bangkit dari tempat dudukku.
Setibanya di atas, bibirku langsung merekah begitu saja. Entah mengapa aku merasakan kenyamanan yang begitu mendalam. Angin yang berdesir mesra ke arahku seakan-akan bisa kusentuh. Kurasakan bulu kudukku berdiri tegak. Akupun bisa melihat ombak-ombak berlari kecil ditengah-tengah luasnya selat Sunda ini. Pulau-pulau kecil juga nampak sangat jelas. Matahari memancarkan sinarnya dengan lembut. ‘Aku betah berada disini!’ jeritku tertahan. Aku berfoto ria bersama keluargaku.
“Bagaimana enak bukan berada disini?” tanya abbiku sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Mm,” aku bergumam kecil sambil menganggukan kepala. Kekesalanku yang sedari tadi seketika lenyap begitu saja tanpa sisa. Lalu aku berjalan ke sisi menatap ombak lekat-lekat. Ada yang janggal dari ombak itu. ‘Itu dia!’ pekikku dalam hati. ‘Ada beberapa sampah yang tergenang, merusak pemandangan saja. Seharusnya sebagai manusia yang sudah ditakdirkan menjadi khalifah di muka bumi dapat menjaga kelestarian alam. Bukannya mencemarkan lingkungan seperti ini!’ rutukku kemudian.‘Sudahlah aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain berdoa agar manusia yang membuat kerusakan dibukakan mata hatinya.’ Kataku masih dalam hati berusaha mengendalikan emosi.
Tiba-tiba aku tersadar, matahari sudah berada di ufuk barat dan mulai meninggalkan sinarnya. Warna kuning keemasan berubah menjadi kemerah-merahan. Aku terperanjat, sebentar lagi aku akan menyaksikan matahari terbenam. Senangnya bukan main hati ini, kala itu pertama kalinya aku melihat matahari terbenam dengan sangat jelas. Burung-burung kecil mulai beterbangan, mungkin ingin ikut menyambut matahari yang terbenam. Aku mencoba menghitung mundur, dan akhirnya senja mulai sirna. Aku berdecak kagum melihat pemandangan tersebut. Mulutku menganga lebar. Sekarang, senja sudah digantikan oleh gelapnya malam.
“Tampaknya kau gembira sekali. Daritadi ummi lihat senyummu tidak pernah pudar.”ucap ummiku.
“Ya, bahkan sangat gembira. Sangat sangat gembira. Tapi sayang, hanya bisa dinikmati untuk sekejap,” kataku.
“Biarpun begitu kan kita tetap bisa melihat pemandangan di malam hari. Coba lihat sekelilingmu, tak jauh berbeda dengan keindahan matahari terbenam kan?” kata abbiku mencoba menghiburku.
Aku menatap sekeliling, berusaha memfokuskan pandanganku dan berkata “Abbi benar, lihat itu! Lampu-lampu berwarna-warni menghiasi rumah penduduk. Dan...ada bintang!” aku menunjuk kepada bintang yang paling terang. “Tunggu dulu, itu artinya kita sudah tiba di pelabuhan bukan? Ah iya memang benar, ajeng baru menyadarinya,” gumamku pada diri sendiri. Kali ini mereka tidak mengatakan apa-apa hanya menatapku lekat-lekat. Tapi aku tak balas tatapan mereka, aku sibuk memperhatikan bintang di
hamparan langit yang luas.
Kemudian, kapal sudah menepi. Sekarang kami sudah berada di daratan. Aku berjalan beriringan dengan kedua orang tuaku. Aku berada diantara mereka, mereka menggandeng tanganku dengan erat. Sunyi diantara kami, yang terdengar hanyalah langkah kaki kami. Sebisa mungkin aku memecah kesunyian.
Aku membuka mulut “Ummi! Abbi! Ajeng minta maaf soal kejadian tadi di kapal,” kataku pelan, tapi semoga saja mereka bisa mendengarnya dengan jelas. Karena aku tidak mau mengulang kalimat itu lagi.
“Sudahlah tidak perlu meminta maaf begitu, kami mengerti kok nak,” jawab ummiku sambil tersenyum lebar dan memperlihatkan giginya. “Yang terpenting saat ini kau sudah bisa kembali tersenyum,” lanjut ummiku.
“Jadikan ini semua sebagai pelajaran hidup! Jangan diulangi lagi perbuatan seperti ini!” tegas abbiku.
Aku hanya tertawa kecil, aku bersyukur sekali hari ini. Meskipun melelahkan dan sepertinya aku juga langsung terserang flu. Pasti karena kelamaan terkena angin laut apalagi hari sudah semakin larut. Angin darat tak kalah kencang hembusannya. Tak apalah, setibanya di rumah aku bisa langsung beristirahat. Aku tak sabar ingin cepat masuk sekolah dan menceritakan semuanya kepada teman-temanku. Sungguh pengalaman yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku.

0 komentar: