Rabu, 12 Oktober 2011

cerita pengalaman

Ususku dipotong
Karya Ayu Deswanti Rio Dingin X-5
Dulu ketika aku duduk di kelas 2 SD dan berusia 7 tahun, aku pernah mengalami pengalaman yang tak terlupakan hingga kini. Mengapa tak terlupakan? Ya, karena pengalaman tersebut berisi kisah yang menarik, menyedihkan, sekaligus mengharukan. Semua bercampur baur menjadi satu.
                Kisah ini dimulai di suatu malam yang sangat gelap, ketika seluruh orang-orang sedang terlelap dengan nyamannya di alam mimpi. Tetapi tidak denganku, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku dan beranjak pergi menuju kamar mandi. Saat itu aku merasa mual sekali, seluruh isi perutku serasa diaduk-aduk. Tapi aku tetap berusaha bangun dan beranjak menjauhi tempat tidur. Ketika aku telah berada 1 m di samping tempat tidur, tiba-tiba saja rasa mual ini tidak dapat ditahan lagi. Seketika seluruh isi perutku keluar tanpa ada sisa sedikit pun. Aku pun memanggil nama kedua orang tuaku, sambil meringis kesakitan.
“Ummi! Abbi!” teriakku.
Hening, tak ada sahutan. Akupun berusaha menarik napas dan mengumpulkan sekuat tenaga, lalu memanggil mereka kembali.
“Mi! Bi! Sini! Cepet!” jeritku, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Isak tangis terdengar dari jeritanku
“Hmmm, kenapa nak?” sahut abbiku, sambil berjalan menuju kamarku.
“Astaghfirullah, kamu kenapa?” tanya ummiku dengan nada cemas.
“Gak tau, tadi tiba-tiba mual. Terus ya gini deh.” jawabku. Isak tangis terdengar dari nada bicaraku.
“Ya sudah, sini abbi bantu bangun. Tidur lagi ya nak? Biar nanti kamarmu kami yang bereskan.”
“Iya, tunggu ya nanti ummi buatkan teh manis.”
Orang tuaku sangat bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, begitupun aku. Aku berusaha untuk memejamkan mata kembali. Sayangnya tidak bisa, karena rasa mual ini masih saja ada walaupun sudah ku muntahkan isi perutku. Selain itu aku juga merasa kasihan dengan orang tuaku, yang sepanjang malam mereka terjaga hanya untuk menemaniku.
                Haripun terus berlalu, sakitku tak kunjung membaik. Hingga di suatu malam, orang tuaku memutuskan untuk membawaku ke UGD. Kami pergi kesana, menyusuri malam yang temaram. Hanya ada cahaya dari sorot lampu jalanan dan beberapa kendaraan yang masih sibuk lalu lalang. Meskipun ada rasa sakit yang ku tahan, tapi tetap saja pandanganku tak bisa lepas dari keramaian kota di malam hari. Lama kelamaan pandanganku mulai terlihat kabur, rupanya aku telah menahan kantuk. Ku putuskan untuk tidur sejenak, mengistirahatkan seluruh anggota tubuhku. Hingga kami tiba, aku masih terlelap di pangkauan ibuku.
                Setibanya kami disana, aku langsung dilarikan ke UGD. Tapi ternyata aku masih harus bersabar untuk mendapatkan perawatan, dikarenakan dokter yang berjaga sedang ada urusan yang mengharuskan beliau untuk meninggalkan rumah sakit tersebut. Sambil menunggu beliau, orang tuaku dan para suster mengajakku untuk berbincang-bincang agar menghilangkan rasa bosanku. Para suster itu sangat ramah, rekahan bibir mereka tak pernah pudar. Untungnya, aku tidak diharuskan untuk bersabar terlalu lama. Setibanya dokter di ruangan tempat aku berbaring, beliau langsung mengambil alat-alat untuk memeriksaku. Tiba-tiba ada rasa takut menghampiriku ketika melihat jarum suntik. Aku menggenggam erat tangan ibuku dan untuk pertama kalinya aku merasakan sakitnya diambil darah.
                Setelah mendapatkan obat dari dokter, tanpa pikir panjang aku langsung mengajak orang tuaku untuk segera pulang. Saat melangkahkan kaki menjauhi rumah sakit, aku menahan langkah kedua orang tuaku. Akupun mulai muntah lagi untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah tidak kuat, tidak ada makanan yang bisa ku keluarkan karena semuanya sudah habis kumuntahkan. Sakit sekali rasanya, sampai-sampai ada air mata yang tertahan di pelupuk mataku. Tak lama kami sudah di perjalanan pulang. Jalanan yang kami lewati sama dengan jalanan di awal. Yang beda hanya keramaian yang ada, ternyata semakin malam keadaan kota di malam hari justru semakin padat. Sepanjang perjalanan ku habiskan waktuku untuk tidur, kali ini aku tidur di pangkauan ayahku.
                Tibalah kami di rumah, orang tuaku langsung memaksaku untuk makan dan setelah itu minum obat yang diberikan dokter. Sudah hari kedua sejak kepergian kami ke rumah sakit, tapi masih saja tak ada perubahan yang terjadi padaku. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, kali ini aku tak kembali ke rumah sampai 2 minggu ke depan. Kenyataan yang harus aku terima bahwa aku harus diopname. Aku sudah membayangkan betapa menderitanya aku nanti. Pertama kalinya aku dirawat menimbulkan banyak tanda tanya di otakku, seperti apakah keadaannya nanti. Aku tidak akan pernah tau karena aku belum pernah menjalaninya. Dari sinilah kesabaranku mulai diuji hingga 2 minggu ke depan aku masih harus terus bersabar.
                Sampai sejauh ini aku belum tau penyakit apa yang ku derita. Dokter memvonis bahwa aku menderita sakit maag, tapi vonis itu belum dapat dipastikan dengan benar. Ketika itu, aku tidak tahu seperti apa sakit maag itu. Yang aku tahu, ayahku sangat menderita karena penyakit itu. Apa mungkin aku akan seperti beliau nanti? Lalu, kamipun pergi ke kamar tempat aku diopname. Ruangan yang tidak terlalu besar, tapi ku rasa cukup nyaman. Ah tapi yang jelas tidak senyaman jika berada di rumah sendiri.
                Hari itu adalah hari sabtu,hari dimana para dokter tidak ada yang bertugas. Orang tuaku pun kebingungan harus bagaimana lagi. Aku harus menunggu 2 hari ke depan untuk mendapatkan perawatan. Meskipun tak ada dokter, banyak perawat yang datang ke kamarku untuk memberikan sedikit pengobatan. Kata mereka, aku harus di USG. Entah mengapa, sebelum di USG aku harus meminum cairan yang berwarna merah muda dan kental seperti odol, aku tidak tahu namanya. Bagiku itu adalah minuman dengan rasa terburuk yang pernah aku minum. Dengan terpaksa akhirnya aku minum juga, sambil menangis karena rasanya yang benar-benar tidak enak.
                Setengah jam kemudian, ada dokter jaga yang masuk ke dalam kamarku. Dia memeriksa keadaanku dan berkata bahwa aku menderita usus buntu. Pernyataan itu sudah pasti dan harus langsung dilakukan operasi. Ternyata cairan yang tadi aku minum tidak ada gunanya,yang ada malah memperparah keadaanku. Pelaksanaan USG pun dibatalkan.
                Minggu dini hari adalah pelaksanaan operasinya. Aku melihat abbiku yang terpojok disisi kamar, beliau sedang menangis. Dan orang yang beliau tangisi adalah aku. Akupun ikut sedih melihat beliau. Lalu beliau pergi keluar kamar untuk menghindari tatapan mataku yang selalu mengawasinya.
“Nak, ajeng harus kuat ya? Yang sabar, Insyaallah operasinya berjalan dengan lancar. Ini pertama kalinya ummi melihat abbimu menangis. Kami selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” jelas ummiku panjang lebar. Tak ada jawaban dariku hanya gumaman kecil yang aku lakukan. Aku hanya bisa menatap kosong matanya. Kantung matanya mulai nampak jelas, butiran air mata membasuh pipinya yang merona. Aku tak tega melihat semua peristiwa ini, dengan sekuat tenaga aku meyakinkan diriku bahwa aku bisa melewati cobaan ini.
Saat berada di dalam ruangan operasi, jantungku mulai berdegup kencang saking ketakutan. Aku memperhatikan sekeliling ruangan tersebut, benar-benar tak ada yang menarik sedikit pun. Tak lama aku sudah tidak tahu apa-apa lagi, mungkin karena obat bius. Aku tak sadarkan diri sampai operasi telah selesai. Ketika terbangun aku menjerit dan menangis kesakitan. Saat itu, para perawat sedang mengganti jarum infusku. Akhirnya punggung tanganku berdarah karena tertusuk jarum suntik. Mereka berusaha menenangkanku, aku sedikit lebih tenang ketika ingat akan wajah kedua orang tuaku.
                Selesai operasi, aku ditempatkan di ruangan lain. Di dalam ruangan tersebutsangatlah panas, pengap, sesak, tak jauh beda dengan gudang. Aku tidak diijinkan untuk mengisi perutku. Padahal kerongkonganku sudah sangat kering sekali, terlebih dengan ruangan yang panas seperti ini.
                Beberapa jam kemudian, ada dokter yang membolehkanku untuk minum air putih sedikit demi sedikit. Kalau tahu begitu, harusnya dari awal memberitahuku. Aku ngedumel dalam hati. Setelah sekian lama aku berada di ruangan tersebut, akhirnya aku dapat kembali ke kamarku yang semula. Tapi bukan berarti aku sudah dibebaskan untuk menjejali isi perutku, karena tetap saja aku masih harus berpuasa makan sampai tiba saatnya nanti aku mengeluarkan gas. Rupanya aku masih diharuskan untuk bersabar. Ya walaupun begitu, aku tetap bersyukur karena operasi yang dilakukan berjalan dengan lancar.
                Hari demi hari telah berlalu,dan aku hanya bisa menjalankan aktifitasku diatas tempat tidur. Dua minggu di rumah sakit rasanya sudah cukup membuatku bosan. Dan atas izin dokter, akhirnya aku bisa kembali pulang ke rumah. Alhamdulillah, aku sudah sehat seperti sedia kala. Ini akan menjadi pengalaman yang berharga untukku. Aku harus bisa belajar dari pengalaman tersebut. Kini aku mulai menyadari arti pentingnya kesehatan. Aku juga harus membiasakan diri untuk menjaga kesehatan. Kesehatan selalu tampak lebih berharga setelah kita kehilangannya.

0 komentar: